2021 merupakan tahun peradaban paling modern untuk kehidupan di bumi saat ini dan masih akan berlanjut. Segala hal mengalami transformasi dari tradisional menjadi lebih canggih. Malangnya transformasi tersebut tetap membawa budaya lama yang seharusnya tidak dilestarikan, budaya tersebut adalah Diskriminasi. Diskriminasi selalu menjadi momok bagi toleransi dalam bingkai kemajemukan berbangsa dan bernegara secara nasional hinga internasional. Tidak mau kalah eksis, diskriminasi kini hadir dalam bentuk modern yang menyusupi berbagai bidang kehidupan manusia seperti Ras, Agama, Gender dan banyak lagi. Bahkan penetapan 21 Maret sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Diskriminasi Rasial pun masih sedikit yang tahu.
Youth Standing Against Racism, “Pemuda Bangkit Melawan Rasisme” adalah tema yang diusung oleh United Nation/ Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun ini. Kampanye #FightRacism melibatkan publik secara digital di seluruh dunia yang bertujuan untuk menumbuhkan budaya toleransi secara global, kesetaraan, anti-diskriminasi dan menyerukan kepada kita semua untuk melawan prasangka rasial dan sikap intoleran.
Konflik rasial memiliki attention yang sangat tinggi untuk masyarakat lokal hingga dunia. Tak jarang, pelaku diskriminasi dipelopori oleh oknum yang berasal dari negara maju seperti yang setahun terakhir ini viral di media sosial. Amerika Serikat sebagai negara maju ternyata masih menerapkan kebijakan diskriminatif. Bahkan, Amerika Serikat yang kita kenal sebagai pencetus dan pelopor HAM di dunia belum mengesahkan beberapa kebijakan hukum terkait penghapusan diskriminasi. Rasisme, diskriminasi ras, dan intoleransi merupakan ancaman serius terhadap kemajuan sosial masyarakat global.
Diskriminasi seakan takut kehilangan followers. Hadirnya pandemi COVID-19 kali ini turut memperkeruh suasana seperti kasus Salon kecantikan di Pulau Phu Quoc, Vietnam yang tidak menerima pelanggan dari Tiongkok karena khawatir virus corona. Sebelum adanya COVID-19, penyakit-penyakit lain juga menjadi sasaran empuk diskriminasi seperti HIV/AIDS, TBC, kanker, hingga cacar air meninggalkan efek samping yang berakibat fatal bagi penderitanya.
Tidak semua penyakit dengan nama “menyeramkan” dapat menular. Di Indonesia sendiri, tagline “Jauhi Penyakitnya, Bukan Orangnya” masih gencar disuarakan. Kita semua perlu menyadari bahwa yang menular adalah stigma yang berkembang menjadi diskriminasi akibat kurangnya edukasi, disinformasi dan misinformasi. Efek domino ini harus segera disudahi.
Sesuai tema IDERD tahun ini, berani dan sudahkah kamu bangkit melawan diskriminasi yang terjadi disekitarmu?