Gelombang Islamophobia membesar di Eropa, khususnya Amerika Serikat saat Tragedi 9/11 atau 11 September 2001 yang dilakukan oleh Al-Qaeda dengan dalang Osama bin Laden. Al-Qaeda lebih menerapkan ajaran Wahhabisme, bentuk ekstrim dari Islam Sunni. Kelompok al-Qaeda didirikan pada tahun 1988 di Pakistan yang pendirinya adalah Osama Bin Laden dan Mohammada Atif. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan FBI bahwa “bukti yang mengaitkan al-Qaeda dan bin Laden dengan serangan 11 September adalah jelas dan tidak dapat disangkal”
Tragedi 9/11 adalah empat serangan bunuh diri yang telah diatur terhadap beberapa target di New York City dan Washington, D.C. Diketuai oleh Muhammad Atta, 19 orang anggota kelompok militan itu membajak empat pesawat komersil Amerika Serikat yang membawa bahan bakar lalu menabrakannya ke gedung World Trade Center (WTC) hingga terjadi ledakan besar yang menghancurkan gedung lain di pusat bisnis tersebut dan ribuan nyawa dari berbagai latar belakang menjadi korban.
Islamophobia adalah prasangka, diskriminasi, ketakutan dan kebencian pada Islam serta Muslim. Salah satu penyebabnya adalah kemunculan representasi Islam yang keras melalui fenomena terorisme dan radikalisme di mana oleh kelompok tersebut dianggap sebagai Jihad. Fenomena ekstremisme semakin meluas dengan narasi tidak kalah kerasnya yang tak lain dilakukan oleh media massa.
Selain Tragedi 9/11, pernyataan Islamophobia kembali naik ketika terjadi penembakan massal di Masjid Al Noor dan Linwood Islamic Centre di Christchurch, Selandia Baru pada pukul 13.40 tanggal 15 Maret 2019. Sedikitnya 50 orang tewas dan 20 lainnya terluka akibat serangan tersebut.
Islamophobia dapat disembuhkan dan dihentikan dimulai dengan cara in-situ. Bila Islam diterapkan dengan kaffah yakni sepenuhnya dan tidak setengah-setengah sehingga tidak terjadi multitafsir yang menyesatkan dari ketentuan Allah SWT yang sudah pasti (wajib). Karena Islam adalah wahyu Allah SWT yang membawa dan berlandaskan fitrah, ketentraman, kelembutan, santun dan ramah yang membawa damai.
Sedangkan dengan cara ex-situ, baik penganut Islam maupun agama lainnya agar aktif berinteraksi dan berdiskusi dengan kelompok berbeda serta tetap bertanggung jawab mengedepankan kredibelitas dan kualitas kelompok serta anggotanya. Sikap toleransi juga harus senantiasa dilakukan dalam segala kegiatan lintas agama untuk saling belajar, hal tersebut harus didukung pemerintah agar tercipta perdamaian.