Kampanyekan Rekonsiliasi Kebangsaan di Dunia Maya dengan Menghindari 5 Jenis Konten Seperti Ini!

0
5310

oleh: Yunus Septifan Harefa

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2019, polarisasi antara kedua kubu pendukung masih terlihat kuat. Secara masif hal ini menyeruak di media sosial. Baik pihak yang menang maupun yang kalah  mengekspresikan emosi setuju dan tidak setujunya di media sosial, melalui konten-konten yang tidak produktif, cenderung menghina dan menyudutkan pihak lain.

Tentu saja sikap seperti ini berdampak buruk pada terwujudnya rekonsiliasi kebangsaan yang sudah diwacanakan pasca pemilu. Polarisasi yang masih terjadi di antara masyarakat seperti sekarang ini rawan perpecahan. Oleh karena itu, media sosial yang memiliki pengaruh besar untuk membangun opini harus digunakan untuk mengampanyekan rekonsiliasi, bukan malah menguatkan polarisasi.

Sebagai pengguna aktif media sosial, saya memperhatikan bahwa banyak sekali pihak yang secara sadar memproduksi dan membagikan konten-konten di media sosial yang tidak mendukung terciptanya rekonsiliasi. Akibatnya, media sosial masih belum bisa dikatakan kondusif. Oleh karena itu, dalam rangka mengampanyekan rekonsiliasi kebangsaan,  ada 5 Jenis konten yang harus kita hindari untuk diproduksi atau dibagikan di media sosial.

  1. Berita negatif yang menghasut untuk semakin membenci

Berita negatif yang menyudutkan pihak lain banyak berseliweran di media sosial. Tujuan memproduksi berita tersebut memang tidak lain untuk menghasut dan memengaruhi pembaca agar semakin membenci salah satu kontestan di dalam Pilpres. Berita-berita semacam ini memang disukai oleh pihak yang merasa didukung, tetapi tidak disukai oleh pihak yang merasa disudutkan.

Akibatnya, berita negatif ini menimbulkan pertengkaran di antara kedua kubu. Hal ini terlihat di kolom komentar. Netizen yang setuju akan mendukung, tetapi netizen yang tidak sepaham akan kembali menghina dan menghujat. Tentu saja, kondisi ini menyadarkan kita bahwa dalam  upaya mengampanyekan rekonsiliasi kebangsaan, kita harus menghindari berita-berita negatif. Memproduksi, membagikan, mengomentari, bahkan menyukainya pun jangan.

2. Diksi non-edukatif

Selama kampanye pemilu beberapa waktu yang lalu, muncul komunikasi politik yang mengandung diksi-diksi non-edukatif.  Yang menyedihkan, diksi-diksi ini tidak berhenti hanya di masa kampanye. Setelah pemilu usai, diksi-diksi semacam ini masih terus dilontarkan, yang membuat pihak tertentu tidak nyaman. Konsekuensinya, rekonsiliasi masih belum dapat tercipta apabila pemilihan diksi masih melukai perasaan pihak tertentu.

Seharusnya, dalam rangka mengampanyekan rekonsiliasi kebangsaan, kita sebagai pengguna media sosial bersama-sama mempopulerkan diksi-diksi yang edukatif dan inspiratif.  Misalnya saja, istilah perdamaian. Duta damai. Peacemaker. Harusnya, kata-kata seperti ini lebih populer dibanding diksi-diksi yang menghujat dan tidak edukatif.

3. Situs-situs  yang tidak jelas sumber beritanya

Dalam beberapa waktu ini, saya menemukan banyak sekali pengguna media sosial yang membagikan berita-berita dari situs yang tidak jelas sumber dan kebenarannya. Ada yang membagikan linknya langsung ataupun sekadar gambar screen shoot dari situs tersebut. Konten yang menampilkan judul provokatif dari situs tersebut menarik para netizen untuk berkomentar, sehingga terjadi perang komentar yang saling menghujat antara kedua kubu pendukung.   Yang disayangkan, netizen  lebih duluan berkomentar sebelum menyelidiki kebenaran dari berita tersebut.

Ketika saya mengecek keaslian dari situs tersebut, memang jelas sekali bahwa situs-situs yang provokatif tersebut memang mengaburkan  kebenaran dan sumbernya beritanya. Sepertinya, berita semacam ini sengaja diproduksi agar polarisasi semakin kuat. Tentu saja sebagai pengguna media sosial yang bijak, kita tidak boleh terjebak untuk mengomentari atau membagikan informasi seperti ini, sumbernya tidak jelas.

4. Tuduhan-tuduhan yang tidak bisa dibuktikan

Masih seputar pengalaman saya berselancar di media sosial. Sebuah video muncul di beranda facebook saya. Ada beberapa ibu yang mendukung kontenstan tertentu dan mengatakan tidak setuju atas  putusan MK. Mereka berteriak bahwa terjadi kecurangan dan sampai kapanpun tidak akan menerima hasil keputusan MK. Seolah-olah narasi-narasi kecurangan ini masih sengaja dibuat tetap eksis, meski kompetisi sudah usai.

Bagaimanapun, sikap seperti ini menunjukkan fanatisme yang tidak sehat. Dengan jelas, langkah konstitusi sudah ditempuh dan tuduhan-tuduhan kecurangan ditolak karena tidak bisa dibuktikan. Oleh sebab itu, seharusnya pihak yang kalah sebaiknya belajar menerima keputusan ini dengan lapang dada. Karena dalam mengampanyekan rekonsiliasi kebangsaan kita harus bersama berhenti untuk memprovokasi masyarakat dengan beragam tuduhan-tuduhan yang tidak lagi bisa dibuktikan.

5. Candaan-candaan yang menimbulkan luka dan amarah

Salah satu akun komedi yang saya ikuti dalam beberapa waktu  terakhir menampilkan konten-konten yang memang lucu bagi salah satu pendukung kontestan, tetapi melukai hati dan membuat marah pasangan kontestan  yang lain.  Tentu saja, tidak ada yang salah dari membuat konten lucu. Tetapi, dalam rangka rekonsiliasi kebangsaan, konten-konten lucu, tapi menghina dan melukai perasaan pihak tertentu harusnya kita hindari. Kita ingin terwujudnya perdamaian di negeri yang kita cintai. Oleh sebab itu, hindari lelucon yang melukai.  Karena lelucon yang melukai perasaan pihak lain adalah lelucon yang paling tidak lucu di dunia ini.

SHARE
Previous article5 Fakta ini diabaikan, muncullah tagar unfaedah #85JutaRakyatMenolakJokowi
Next articleBincang Seru Mahfud MD: “Tuhan Saja Toleran, Masak Kita Enggak”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here