Semua sepakat bahwa manusia diciptakan Tuhan tidak dalam keadaan yang sama atau dalam satu warna saja, melainkan dengan beragam perbedaan. Perbedaan yang terdapat pada diri manusia terdiri dari warna kulit, bentuk badan, suku, ras, kepercayaan atau agama dan masih banyak perbedaan-perbedaan lainnya. Sehingga sangat wajar bahwa manusia harus menerima segala perbedaan itu demi tercapainya kehidupan yang tentram, damai, aman, harmonis bahkan sejahtera. Harapan hidup seperti itu adalah harapan hidup sebagian besar umat manusia yang hidup di dunia ini. Hanya orang-orang yang kurang sehat akalnya yang tidak menginginkan hidup tersebut.
Akan tetapi, belakangan ini kehidupan damai manusia cukup terancam dengan merebaknya paham radikalisme bahkan fanatisme yang berlebihan dalam beragama. Keterancaman tersebut biasanya diaplikasikan dalam bentuk teror yang mengatasnamakan agama, yang tentu dilakukan oleh sebagian orang atau kelompok ekstrimisme atau radikalisme. Contoh kasus antara lain beberapa tahun yang lalu telah terjadi tragedi dalam lingkup agama Islam sendiri, yakni kasus pembakaran pesantren Syi’ah di Sampang Madura, pengusiran jemaat Ahmadiyah serta penutupan masjidnya, penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh massa FPI kepada orang-orang yang dianggap melakukan maksiat ketika bulan puasa atau penyerangan kepada masyarakat yang berjualan di bulan suci tersebut.
Selain itu, teror tersebut tidak hanya terjadi dalam lingkup agama Islam saja, melainkan juga terjadi pada beberapa kelompok agama yang lain. Misalnya penutupan gereja GKI Yasmin di Bogor, penusukan pendeta HKBP di Bekasi, tragedi bom Bali satu dan dua, dan lain sebagainya. Pelaku teror tersebut tentu tidak hanya dari kelompok atau individu yang mengatasnamakan agama Islam saja, melainkan dari berbagai golongan agama yang fanatik berlebihan. Sebut saja misalnya belum lama ini terjadi penembakan yang dilakukan oleh Brenton Tarrant pada umat muslim yang terjadi di masjid yang berada di Selandia Baru. Tentu, jika ditelusuri lebih dalam, masih banyak peristiwa-peristiwa teror lainnya yang pernah terjadi dan mengatasnamakan agama, baik itu mengatasnamakan agama Islam, Kristen, Yahudi dan lain sebagainya.
Hal-hal tersebut biasanya terjadi karena pelaku atau kelompom teror itu memiliki sikap fanantik yang berlebihan dalam beragama. Sehingga akan melahirkan sikap eksklusif. Kaum atau penganut eksklusivisme menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan hanya pada agamanya sendiri. Sehingga tidak ada kebenaran dan keselamatan pada agama lain.
Bahaya ekslusivisme terdapat pada tingkat pemikiran dalam diri seseorang. Penganut ekslusivisme pemikirannya akan menjadi terbatas, karena tidak adanya komunikasi yang terjalin baik antar agama maupun antar perbedaan lainnya. Di samping itu, juga akan mengakibatkan hilangnya sikap dan jiwa toleransi dan menganggap bahwa kebenaran adalah miliknya sendiri. Akibatnya cenderung mengarah pada kekerasan, teror, dan lain sebagainya.
Jika agama dipahami sebagai way of life, maka semestinya hadirnya agama itu dalam kehidupan manusia dapat mengantarkan pada kehidupan yang baik, harmonis, aman, tentram dan sejahtera. Karena sejatinya semua agama tidak mengajarkan kekerasan dan menyakiti orang lain. Akan tetapi, yang terpenting dalam beragama adalah sikap toleransi dan juga inklusif yang harus dipegang teguh dalam diri individu maupun kelompok. Karena, dengan sikap inklusif akan menjadikan seseorang lebih terbuka dan cenderung menerima diskusi maupun komunikasi dengan segala perbedaan, baik agama maupun selain agama. Sehingga akan mendapatkan titik temu dan menumbuhkan sikap toleransi.