“IDENTITAS SAKRAL NEGERI POROS MULTIKULTURAL”

0
897

RATUSAN TAHUN silam, ledakan meriam dan letusan senjata api tiada habisnya memeriahkan hari-hari derita bangsa yang belum saling mengenal satu sama lain, karena nama sendiri barangkali mereka tak punya. Entah karena tak mengerti atau ada yang sengaja membuat mereka untuk terus tak mengerti. Entah karena tak dipelajari atau ada yang sengaja membuat mereka untuk tak mempelajari. Mereka hanya mengerti sedikit bahasa, dalam gerak tubuh yang mengeja. Mereka hanya mengerti sedikit hal: bekerja, beranak-pinak, bekerja lagi, bekerja terus, lapar, haus, sakit, dan mampus.

            Waktu terus bergulir, jeritan penderitaan makan nyaring bunyinya. Babak demi babak tak terelakkan, jarum jam terus memakan korban. Pupuk kesedihan terus ditanam, bunga kezaliman semakin menyengat baunya. Orang-orang itu hampir tak pernah berjumpa dengan kebahagiaan mereka, kecuali sepotong senja yang hendak terbenam menjadi waktu terbaik menawarkan diri untuk ikut terbenam sekaligus. Tak pernah terbit kembali.

            Babak baru telah muncul, membawa harapan untuk timbul. Dari kubur penderitaan mayat-mayat itu bangkit, melihat rombongan bermata sipit. Teriakan-teriakan itu terdengar, harapan-harapan baru seolah benar akan memancar. Matahari pagi seolah terbit, berikut dengan pendar semunya, “Nippon Cahaya Asia! Nippon Pelindung Asia! Nippon Pemimpin Asia!”. Warna kegembiraan begitu cerah, suara tangisan meredam di mana-mana. Hanya ada sorak-sorai. Segala menyeru. Mereka larut dalam propaganda palsu.

            Tak berselang lama, ketika kegembiraan masih ‘nyangkut’ di kerongkongan, penderitaan baru berlomba-lomba masuk ke perut bangsa. Alih-alih menyembuhkan, pil pahit menambah rasa sakit. Manusia-manusia yang sedikit dibekali keimanan itu kembali berkumpul ke badan jalan, melebur dengan penderitaan atau mati dalam ketidakpastian memperoleh nirwana. Manusia-manusia itu terus menanam, berbagai jenis tanaman pangan, biji-bijian, hingga menanam rekan seperjuangan. Banyak yang tumbuh, hanya sedikit yang masuk ke perut lusuh.

            Suatu hari mereka dikumpulkan untuk dipekerjakan, yang melawan dibunuh atau diasingkan. Dalam pengasingan dan keterasingan, orang-orang zalim tak menyadari bahwa manusia-manusia ini masif membuat nama masing-masing, lalu mereka saling mengenal. Bertukar cerita yang tentu saja sama.

Mayat-mayat yang tertanam, mulai meninggalkan kuburnya untuk mengadakan pertemuan di kalangan roh-roh yang masih menyimpan dendam dan harapan. Mereka berunding, membisikkan yang penting-penting.

            Mereka yang hidup dan terseok-seok di atas tanah, tak mau kalah dengan mereka yang mati. Mereka buat perundingan, sama halnya dengan nenek moyang mereka. Hanya saja lebih nyata. Satu-dua orang beruntung yang mendalami baca-tulis, atau sekadar pernah menginjakkan kaki di teras sekolah setengah jadi, mulai dikultuskan dan dititipkan harapan demi harapan. Roh-roh nenek moyang mengulurkan hasil rapatnya, yang hidup-hidup mencerna notulen yang tak terbaca, namun sangat dimengerti maksud baiknya.

              Perundingan-perundingan tergelar di mana-mana, skala kecil hingga besar, meja mungil hingga meja bundar. Segala diupayakan untuk menyegerakan kemerdekaan. Bangsa telah memiliki nama, mesti baru nama-nama sapaan. Diambil dari sejumput warna kulit dan bahasa yang berbeda-beda. Garis wajah tak lagi pucat, cikal-bakal kemerdekaan kian mendekat. Mereka bersulang, namun tetap ada yang kurang. Apakah gerangan? Mereka butuh pegangan. Bukan sebuah ilmu kebal, namun sebuah mantra yang sakral.

            Di sebuah pondok pesantren di daerah Jombang, Jawa Timur. Sang Kiai memberi pesan kepada anak lelakinya yang akan segera pergi berunding di kota Jakarta, tentang cita-cita bangsa dan tali-temali yang dapat mengikat erat semuanya. Tanpa penindasan, tanpa kezaliman.

            Sepetik buku diraihnya di atas rak kayu yang usang dimakan usia, Kedua tangannya membelai lembar demi lembar karangan ulama terkemuka. Sambil berdoa—bertawasul barangkali—Sang Kiai mempejari butir-butir Piagam Madinah yang Kanjeng Rasul prakarsai. Piagam Madinah adalah kisah nyata arifnya tauladan kita dalam mempersatukan bangsa-bangsa. Karena kedamaian tak sekadar di dalam doa. Ia nyata, dan perlu diaminkan dengan segala, termasuk tindakan.

            Pesan ayahanda dibawanya ke Jakarta. Di meja perundingan, cita-cita bangsa semakin nyaring bunyinya. Butir-butir Piagam Madinah terbahas, persetujuan menuai tuntas. Piagam Jakarta lahir sebagai bayi yang lahir dengan kegembiaraan. Dunia mengintip dari celah-celah jendela, kini bangsa telah bernama. Doa-doa baik digemakan, identitas bangsa disakralkan. Terus berbenah sampai ia benar-benar megah.

            Pancasila.

Referensi:

Irawan, Aguk. 2019. Penakluk Badai. Jakarta: Republika Penerbit.

Nadjib, Emha Ainun. 2016. Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem. Jakarta: Naura Publisher.

PBNU, 2019. Seri Madrasah Kader Nahdlatul Ulama. Jakarta: PBNU.

Sulistiawati, Samsul. 2020. Muslim Moderat Merespon Arus Modernitas dalam Bingkai Multikultural. Malang: Edumaspul Jurnal Pendidikan Vol. 4, No. 1.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here