Memasuki akhir dari bulan Desember ini, terdapat sebuah perayaan keagamaan yang diselenggarakan oleh umat Kristiani. Ya, tepatnya pada tanggal 25 Desember kemarin mereka merayakan Hari Raya Natal. Setiap tahun perayaan Natal di Indonesia dirayakan secara khidmat dan meriah. Di masa pandemi sekarang ini, tentu suasananya akan sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Penegakkan protokol kesehatan akan menjadi aturan yang harus dipatuhi oleh umat Kristiani dalam merayakan Natal sebagaimana hari raya umat beragama lainnya.
Selain daripada penegakan protokol kesehatan, hal lain yang menjadi sorotan dan senantiasa menjadi warna dalam perayaan Natal ialah turut sertanya umat beragama lain dalam menjaga stabilitas keamanan sehingga umat Kristiani dapat tenang dalam beribadah. Wujud toleransi dalam beragama ini merupakan pengamalan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan bernegara bangsa Indonesia. Fenomena perayaan Natal yang melibatkan umat dari agama lain adalah sebuah keragaman yang patut dijaga dan dijunjung tinggi oleh kita sebagai umat beragama. Ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang amat sulit dapat kita temukan di negara lain.
Umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia merupakan salah satu pihak yang turut serta dalam menjaga kerukunan dan stabilitas keamanan pada Hari Natal. Meskipun secara internal banyak sudut pandang yang berbeda tentang Hari Natal, akan tetapi ibadah secara horizontal atau sering disebut hablum min an-naas menjadi sebuah prioritas untuk menciptakan kerukunan. Stigma tentang dukungan dan ikut serta dalam menjaga stabilitas keamanan dalam perayaan Natal dapat menghapus keimanan seseorang perlu diluruskan. Hal tersebut disebabkan karena esensi daripada hablum min an-naas bukan menyangkut pada masalah akidah, tetapi menyangkut masalah mu’amalah (interaksi sosial).
Nabi Muhammad SAW memberikan banyak contoh kepada kita tentang cara berhubungan dengan umat beragama lain, antara lain:
- Beliau pernah memberikan izin untuk delegasi kaum Nasrani Najran untuk melaksanakan kebaktian di dalam masjid.
- Beliau memiliki ayah mertua seorang Yahudi yang bernama Huyay Akhtab al-Nadhari dan putrinya Shofiyah yang kemudian masuk Islam setelah dinikahi Nabi.
- Beliau pernah menggadaikan pakaian perang beliau kepada seorang Yahudi dengan nilai 30 sha’ (sekitar 75 liter) gandum. Menurut riwayat Aisyah RA, sampai Nabi SAW wafat pakaian perang tersebut tidak pernah ditebus oleh Nabi SAW.
Dari berbagai contoh yang sudah diberikan Nabi Muhammad SAW dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya beliau mengajarkan kepada umat Islam untuk tidak memilah-milih dalam berinteraksi dengan sesama umat manusia. Di dalam surat Al-Anbiya ayat 107 Allah SWT berfirman:
“Tidaklah kamu (Muhammad) Kami utus melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta Alam.”
Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT bukan hanya untuk orang Islam, melainkan untuk semesta alam yang terdiri dari berbagai macam agama dan kepercayaan lainnya.
Sikap toleransi yang Nabi SAW ajarkan bukan semata-mata tidak ada batasannya. Ya, batasan daripada toleransi beragama yang Nabi SAW contohkan ialah apabila sudah masuk ke dalam ranah akidah. Suatu ketika Nabi SAW pernah diajak untuk berunding dengan kaum kafir Quraisy Mekkah. Beliau ditawarkan untuk menyembah Tuhan kepercayaan mereka selama satu tahun, dan mereka akan menyembah Tuhan kepercayaan Nabi SAW (Allah SWT) selama satu tahun berikutnya. Pada akhirnya turunlah wahyu kepada beliau untuk menjawab tawaran dari kaum kafir Quraisy Mekkah yang tertuang dalam QS. Al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi:
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku”
Secara garis besar, Indonesia sebagai negara yang Allah SWT berikan anugerah berupa keragaman suku, budaya, ras, dan agama tentu patut menjaga dan melestarikannya sebagai rasa syukur kita atas anugerah tersebut. Toleransi dengan umat agama lain bukan berarti sebuah pengkianatan atau murtad dari ajaran agama sendiri. Sebagaimana yang Nabi SAW contohkan, toleransi pasti ada batasannya. Dalam hal beragama batasannya adalah akidah. Akidah harus tetap dijaga, akan tetapi muamalah juga merupakan hal yang utama. Tidak ada istilah menggadaikan keimanan akibat toleransi dengan umat beragama lain. Takarannya sudah jelas. Untukmu agamamu dan untukku agamaku