Menjelang akhir tahun, tepatnya pada perayaan Natal dan Tahun Baru, masyarakat Indonesia—khususnya muslim—disibukkan dengan perdebatan seputar halal-haram atau boleh tidaknya mengucapan “Selamat Natal” bagi kawan-kawan Nasrani. Tidak hanya pada pengucapan Natal, merayakan dan/atau mengucapkan “Selamat Tahun Baru” juga ikut meramaikan topik perdebatan rutinan ini. Perbedaan pendapat mengenai hal itu seringkali disikapi secara berlebihan oleh masing-masing pihak. Akibatnya, selain merusak keharmonisan (baik sementara atau berkelanjutan), perdebatan rutinan ini membuat jenuh masyarakat, bahkan berpotensi menjauhkan mereka dari Islam itu sendiri.

Pendapat yang membolehkan pengucapkan selamat Natal berpegangan pada dalil dianjurkannya bermuammalah pada siapa saja dan dalam rangka apa saja. Selain itu, selama masih dalam khilaf (perbedaan) di kalangan ulama, maka tidak dapat diharamkan secara mutlak, serta kondisi pengharaman pada masa ulama terdahulu berbeda dengan kondisi sekarang. Adapun kekhawatiran dapat merusak aqidah, dibantah dengan sebuah pendapat bahwa aqidah terdapat di dalam hatimu dan menjadi tanggungjawabmu. Dan masih banyak rujukan-rujukan mengenai alasan dibolehkannya pengucapan selamat hari raya bagi umat agama lain. Ulama-ulama yang membolehkan pengucapan Selamat Natal bagi kawan-kawan kristiani di antaranya Abi Quraish Shihab, Al-Habib Ali Al-Jufri, Al-Habib Husein bin Ja’far Al- Hadar, dan masih banyak yang lainnya.

Pendapat yang mengharamkan pengucapan selamat Natal berpegangan pada pendapat bahwa batas-batas toleransi adalah dalam hal aqidah dan pentingnya mendefinisikan toleransi itu sendiri. Pada pendapat ini, pegucapan selamat Natal sama saja dengan merestui kelahiran ‘Isa As. sebagai anak Tuhan. Selain itu, pengucapan selamat Natal dianggap merestui kesyirikan. Dan ikut merayakannya—baik Natal maupun Tahun Baru—sama saja meniru suatu kaum sehingga ia menjadi bagian daripada kaum tersebut. Adapun cara menghormati kawan-kawan yang merayakan cukup dengan memberikan keleluasaan bagi mereka untuk beribadah dan tanpa mencampurinya. Ulama-ulama yang mengharamkan pengucapan selamat Natal di antaranya KH. Idrus Ramli, Buya Yahya, Ustadz Abdul Shomad (UAS), dan masih banyak pula yang lainnya.

Perbedaan pendapat di antara ulama bukan berarti kita boleh membandingkan dan/atau sampai menyalahkan salah satunya, atau bahkan kedua-duanya. Cukuplah bagi kita untuk meyakini dengan dorongan hati berkenaan perbedaan pendapat para ulama. Terkhusus bagi kita yang ‘awam’ adalah dengan tidak menambah kekacauan atau keributan, terlebih jika dibumbui dengan kesoktahuan. Sebelum kita tarik pada kesimpulan, mengutip perkataan Al- Habib Husein bin Ja’far Al-Hadar bahwa, yang halal secara mutlak adalah berbuat baik kepada siapa saja apapun agamanya; dan yang haram secara mutlak adalah pertengkaran di antarakaum muslimin hanya karena perbedaan pendapat antara boleh atau tidaknya mengucapkan selamat Natal.

Kendati penulis meyakini salah satu pendapat di antara perbedaan pendapat di atas, penulis berusaha mengajak para pembaca sekalian untuk bersikap hemat dan proporsional terhadap perbedaan yang ada. Tidak menghakimi, tidak juga mudah menjustifikasi, atau mudah mengklaim bahwa pendapat kita yang paling benar dan yang lain salah. Nauzubillah. Perbedaan pendapat yang ada hendaklah membuat kita kembali sadar, bahwa ilmu yang kita miliki belumlah ada apa-apanya sehingga perlu untuk terus belajar. Serta membuat kita kembali berpikir akan pentingnya mengedepankan cinta dan kasih sayang agar senantiasa tercipta keharmonisan dalam sajak-sajak dan napas kehidupan.

Pembaca yang budiman, tidakkah kita sadar berkutat pada masalah yang itu-itu saja—yang semestinya dapat disikapi secara sederhana—tidak akan membawa perubahan baik pada diri kita? Tidakkah kita sadar bahwa ada yang jauh lebih penting ketimbang meributkan halal-haram atau boleh/tidaknya mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru bagi yang merayakan? Adalah dengan mengevaluasi diri (‘ngaji diri’) atas apa yang telah kita lakukan selama setahun belakangan; adalah dengan membuat sebanyak-banyak harapan untuk tahun-tahun berdatangan; adalah dengan memohon sebanyak-banyak ampunan dan keridhaan Gusti Allah atas apa yang hendak kita hajatkan. Sebagaimana dalam ajaran Islam, bahwa orang yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik dari hari kemarin.

Daripada ribut, mending kita sambut Tahun Baru dengan semangat dan resolusi baru! Semoga senantiasa diberikan kesehatan dan perlindungan. Semoga menjadi pribadi yang jauh lebih baik, pribadi yang dapat membenihkan cinta dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Semua ini tentang aku, kamu, dan kita. Karena kita Indonesia! Tabik.

Wallahua’lam.

SHARE
Previous articleUntukmu Agamaku dan Untukku Agamamu?
Next articleEtnosentrime, Berjejaring dan Cara Pandang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here