Sejarah Konflik Papua
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam etnis dan juga budaya bermacam-macam. Etnis beragam inilah yang membuat Indonesia sebagai negara kesatuan tidak di dasarkan pada suatu suku maupun agama tertentu. Hal ini tercantum dalam pidato intoleransi Soekarno pada awal – awal kemerdekaan di mana beliau berkata “Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu adat istiadat, tetapi Kita semua dari Sabang sampai Merauke” dikutip dari gramedia.com. Oleh karena dapat dikatakan sebuah kekeliruan apabila mengatakan negara ini representasi dari suku, agama, etnis, maupun budaya tertentu. Indonesia adalah Indonesia dengan segala keberagamannya mau etnis Melayu sampai etnis Bugis dan lain lain.
Papua adalah contoh nyata dari keberagaman tersebut, etnis yang berbeda dengan etnis lainnya di Indonesia tidak menjadi indikator bahwa orang-orang Papua merupakan orang non Indonesia. Sebagai warga negara yang nasionalis kita seharusnya tidak boleh menjadi individu rasial sehingga memandang orang-orang asli Papua sebagai non Indonesia. Karena banyak sekali kejadian masa lalu hingga masa kini yang mendiskreditkan orang-orang Papua itu sendiri. Bentuk diskriminasi ini pernah terjadi di Surabaya, penyerangan terhadap asrama mashasiswa Papua tersebut tidak boleh terulang kembali di kemudian hari. Perdamaian akan sesama warga Indonesia walaupun berbeda etnis haruslah di wujudkan melalui wilayah terkecil yakni menjaga hubungan antar individu
Provinsi di Indonesia timur ini memiliki sejarah yang cukup rumit dan panjang bagi kemerdekaan Indonesia. Wilayah ini muncul berawal dari konflik antara pemerintah Indonesia dengan Belanda yakni pada operasi Trikora. Meskipun terdapat intervensi dari Perserikatan Bangsa Bangsa dalam penyatuan ke wilayah NKRI. Ternyata tidak serta merta membuat provinsi ini aman damai. Keterbelakangan baik dalam akses pendidikan maupun kesehatan dari era Kolonial Belanda ternyata melatarbelakangi kemunculan kelompok kriminal bersenjata semisal OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pemerintah Indonesia pada awal kemerdekaan pun juga berusaha mempebaiki hubungan dengan pemerintahan lokal di Papua itu sendiri. Mulai dari tindakan represif semisal operasi militer hingga jalan damai seperti yang dilakukan oleh Presiden RI ke – 4 yakni KH. Abdurrahman Wahid.
Berbagai cara dilakukan demi perdamaian di Bumi Cendrwasih ini. Operasi militer Tri Komando Rakyat yang dilakukan era pemerintahan Presiden Soekarno bertujuan untuk membebaskan provinsi tersebut dari kekangan Pemerintah Kolonial Belanda. Berbagai tindakan militeristik dilakukan dengan embel-embel perdamaian di Papua. Namun kenyataan hingga masa kini belum ada kata perdamaian di Bumi Cendrawasih tersebut. Kenyataan ini membuktikan sederet tindakan represif tersebut belum bisa menjadikan Papua menjadi kondusif apalagi sampai ada perdamaian. Bahkan di masa kini ada dugaan operasi militer illegal di Papua yang dilakukan oleh oknum dari Instusi TNI-Polri demi kepentingan-kepentingan tertentu. Ini dapat kita baca bersama melalui hasil penelitan yang di terbitkan oleh Walhi, YLBHI, #BersihkanIndonesia, Pusaka Bentara Rakyat dll. Hasil penelitian tersebut berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer Papua”. Hasil penelitian tersebut mengingatkan kita bahwa seharusnya penyelesaian akan konflik di Papua haruslah secara humanis.
Namun hal berbeda terjadi pada saat era pemerintahan Gusdur. Kyai sekaligus Presiden RI tersebut bisa mengambil hati rakyat papua dengan cara diluar kata kekerasan. Sejarah akan kecintaan masyarakat Papua terhadap Gusdur ini membuktikan bahwa peran kepala negara memiliki peranan humanis dalam mendamaikan rakyatnya. Gusdur meruntuhkan tembok-tembok yang selama ini tabu di kalangan pemerintahan sebelumnya. Seperti mengganti nama Irian menjadi Papua yang merupakan identitas dari masyarakat disana. Gusdur juga memperbolehkan masyarakat di sana untuk mengibarkan bendera bintang kejora asalkan di bawah bendera Merah Putih. Hal ini menimbulkan kecintaan yang luar biasa dari masyarakat Papua terhadap Gusdur ini. Bahkan dilansir dari Tirto.id Gusdur di anggap sebagai Juru Damai bagi masyarakat Papua. Sumber yang sama mengatakan bahwa Gusdur membuka ruang pengakuan atas ekspresi ekspresi kultural, kebebasan berpendapat, dan identitas politik.
Pembebasan larangan atas pengibaran bendera bintang kejora tersebut menegaskan bahwa masyarakat Papua merupakan manusia yang harus diperlakukan dengan setara. Penerapan kebijakan humanis era Gusdur ini dapat kita terapkan di era masa kini. Dialog antara pemerintah dengan masyarakat di sana merupakan cara paling ideal dilakukan. Berbanding terbalik dengan cara militer masa kini yang mungkin saja malah membuat semakin runyam konflik di Papua. Masyarakat Papua harus di perlakukan sebagai manusia yakni dengan cara-cara humanis dalam penyelesaian konflik. Kecintaan masyarakat Papua terhadap Gusdur merupakan bukti bahwa cara humanis berhasil menurunkan tensi konflik di Bumi Cendrawasih tersebut.