Sefruit Saran dari Netijen +62 dalam Bermedia Sosial

0
1355

Oleh: M. Nurul Anwar

Salah satu teman facebook saya ketika hari raya idul fitri kemarin membuat status di akunnya yang berbunyi, “Mohon maaf lahir batin ya bapak, ibu, mas, mba dan kawan-kawan, damai dulu sebentar, setelah itu kita buat lagi keributan ”. Keributan di negara +62 ini sudah sangat terstruktur, sistematis, dan masif hingga hari raya pun dianggap menginterupsi budaya negara ber-flower ini. Begitu kira-kira tafsirnya.

Kalau dibilang berlebihan saya menafsirkannya, tentu. “gurau je,” kalau kata Mail bin Ismail di serial anak Upin Ipin. Namun, melihat sebaran berita-berita di timeline yang provokatif hingga ujaran kebencian selama bulan Ramdhan kemarin dan puncaknya ketika kerusuhan 21-23 Mei tentu tafsir guyonan saya di atas bisa dibilang cukup mewakili kondisi tersebut. Buntutnya, pemerintahan membatasi akses beberapa media sosial dan aplikasi percakapan yang seringkali menjadi saluran informasi hoaks. Sudah separah itukah keributan di negara kita ini?

Kalau kita amati dan rasakan, keributan ini hanya ramai di online saja, walaupun ada imbas di offline itu pun tak seganas di media sosial. Saya dan teman SMA saya yang berbeda dalam pandangan dan pilihan politik pun anteng-anteng saja, nongki2 bareng sambil nyuruput kopi. Elit politiknya pun woles juga, memang hanya kampret dan cebong saja yang ramai di media sosial ini. Maki, klik, share, dan seterusnya.

Komentar menghujat dengan didasari prasangka dan kedengkian memang bikin hati plong apalagi tanpa harus bertatap muka, sungguh kenikmatan hqq. Padahal bulan puasa melatih kita untuk bisa menahan nafsu dan meniadakan perilaku-perilaku buruk seperti itu. Nah, cebong vs kampret di media sosial ini tak mampu dihentikan dengan puasa yang merupakan metode canggih anjuran Nabi Muhammad dalam manajemen kontrol diri. Cebong-kampret tak mengenal imsak, menahan diri. Mereka hanya mengenal berbuka dan lebaran.

Nah, usut punya usut, menurut Fadhli Lukman (https://islamkepulauan.id/fadhli-lukman/kolom/cebong-vs-kampret-jahiliyah-kontemporer/), perilaku cebong-kampret ini mirip dengan perilaku masyarakat jahiliyah Arab ketika itu. Namun, bukan “kebodohan” yang tepat untuk menggambarkan masyarakat jahiliyah ketika itu. Melainkan, mental mereka yang mudah terprovokasi dan ketidakmampuan mengontrol diri. Sebab itulah Nabi Muhammad datang untuk memperbaiki akhlak, bukan “memintarkan”-nya.

Salah satu cara perbaikan akhlak masyarakat Arab waktu itu oleh Nabi salah satunya dengan berpuasa. Kenapa? Karena dengan berpuasa mereka harus “menahan” segala perilaku dan sikap jahiliyah mereka hingga mereka mampu mengontrol diri. Kalau dalam jawa, puasa diibaratkan menjadi sebuah kawah candradimuka yakni kondisi untuk terus menempa dan mendidik diri agar menjadi manusia yang mulia, bersih lahir dan batin.

Mental dan karakter jahiliyah ini kembali muncul di negara +62. Cebong dan kampret berperilaku seperti halnya suku Aus dan Khazraj, mudah terprovokasi, saling menghasut, hingga perang hastag. Parahnya, cebong dan kampret ini tidak mempan dengan “puasa” seperti ramadhan tahun ini. Tuman!

Kalau puasa saja yang merupakan anjuran Nabi, tidak bisa menghentikan mahkluk negara ber-flower ini, lantas cara apa lagi yang pas untuk mereka?

“Lihat yang mulia ,” sambil nunjuk cebong-kampret.

“Mereka bodoh jahiliyah, yang mulia,” kata penasihat Raja Takeshi versi hijrah.

Namun, masih banyak juga netijen negara berkoordinat 6°LU – 11°08′LS dan 95°’BT – 141°45′BT yang waras, cenderung lucu. Misalnya kemunculan tagar #RecehkanTwitter merupakan upaya alternatif di media sosial Twitter oleh para netijen Indonesia untuk “menolak serius” di media sosial yang sudah sangat bising dengan perang tagar antara cebong vs kampret.

Teman saya selalu bilang kalau “Anak Twitter” itu seru dan lucu-lucu. Mereka memiliki perspektif yang unik dalam melihat realitas dan pastinya lucu. Tentu, ini menjadi alternatif bagi para netijen kalau sudah bosan dengan peperangan cebong-kampret. Dan juga, mereka pelan-pelan turut mendidik kita agar selalu bisa mengambil hikmah kelucuan kebaikan di setiap keadaan dan situasi, apalagi politik pasti banyak. Uhuk!!  

Meski cukup ampuh untuk menyikapi keributan di media sosial, namun perspektif kelucuan ini masih sedikit dimiliki oleh netijen +62 sehingga perlu untuk terus digaungkan agar netijen bisa selalu waras dan menjaga akal sehat mereka di media sosial. #MenolakSerius dan/atau #MenolakRibut mungkin bisa kita jadikan gerakan di media sosial yang terstruktur, sistematis dan masif. Tagar ini nantinya akan menjadi gerakan untuk memberikan narasi-narasi yang menyejukkan dan tentunya lucu di media sosial.  

Hidup ini memang untuk apa sih, kok ribut terus itu lho! Mbok ya woles, lawong hidup di dunia itu cuma untuk mampir update status kok!

Demikian sefruit saran dari netijen budiman Planet ke tiga dari tata surya galaksi bimasakti yang mempunyai satu satelit alam yang bernama bulan dan berlapis 5 atmosfir dan 71% planetnya adalah lautan dalam suatu negara maritim dengan 17.503 pulau yang berkoordinat di 6°LU – 11°08′LS dan 95°’BT – 141°45′BT, yang dilewati garis ekuator dan hanya mempunyai dua musim, dan mempunyai gunung berapi aktif terbanyak di dunia, bekas jajahan Portugis, Jepang, dan Belanda yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan berlokasi antara samudra Pasifik dan Hindia dalam sebuah benua Asia, yang berkode negara +62 dan masih Negara berflower serta berkepulauan terluas di dunia.

SHARE
Previous articlePERAYAAN HARI LAHIR, DAPAT APA PANCASILA TAHUN INI?
Next articleSeminar Hari Pancasila Duta Damai Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here