Belum lama ini terjadi ledakan bom di pintu gerbang Gereja Katedral Makassar, dimana pada ledakan bom bunuh diri tersebut terdapat dua pelaku pengeboman yaitu pasangan suami-istri berinisial L dan YSF, terdapat juga ledakan bom di mabes polri yang di lakukan oleh perempuan. Jika kita melihat kasus yang baru viral kemarin, mengapa wanita dapat terlibat dalam kasus terorisme? dan apa saja faktor-faktor yang dapat mendorong terjadi nya wanita tersebut menjadi pelaku terorisme?
Yuk, mari kita bahas bersama-sama sobat damai…
Tindakan terorisme di Indonesia semakin banyak terjadi belum lagi adanya peran wanita yang tampak semakin aktif dalam melakukan tindakan terorisme baik secara global maupun regional. Melihat dari sudut pandang sosiologis atau pandangan dari masyakarat sekitar mengenai tindakan teror yang semakin nyata dan meningkat bahkan dinamis terutama wanita saat ini menjadi pelaku aktif dalam tindakan terorisme.
Stereotip wanita sebagai seseorang yang memiliki karakter keibuan penuh kasih, lemah lembut yang sering sekali terlihat tidak berbahaya bahkan rapuh seringkali lolos pemantauan dan kecurigaan dari petugas keamanan setempat. Adanya idealisme akan harapan dan janji masa depan yang lebih baik untuk keluarga menjadi pandangan yang menggerakkan mereka untuk melakukan tindakan keji. Pemikiran semacam itu kemudian menjadi pembenaran untuk melakukan aksi bom bunuh diri bersama suami atau anggota keluarganya.
Wanita dapat menjadi pelaku bom bunuh diri bukan tiba- tiba namun ada proses indoktrinasi, perekrutan dan pemahaman tentang jihad. Wanita juga dapat menjadi pelaku karena mereka sebelumnya adalah sebagai korban hoaks, bujuk rayu, propaganda, doktrinasi oleh stereotip yang ada serta modus atau tawaran yang diterima, maka wanita dapat beralih dari korban menjadi pelaku tindakan terorisme. Selain itu ada faktor internal yang menjadi pendukung dimana perempuan dapat tergabung dalam tindakan terorisme yaitu motivasi.
Motivasi yang lebih personal tentu berbeda antara pria dan wanita. Sebuah penggambaran melalui sisi psikologis wanita yang dapat diketahui bahwa motivasi bisa dijadikan sebagai acuan penanganan yang sesuai agar menghindari adanya resistensi atau penolakan (rejection). Adanya beberapa aspek motivasi yang muncul berdasarkan teori Psychological Risk Factors of Terrorist diantaranya adalah economic motives, justice motives, social motives dan actualization motives. Masing-masing motivasi yang ada pada dalam diri wanita inilah yang dapat terkait memiliki peran penting dalam deradikalisasi dan proses pencegahannya.
Terdapat juga dua faktor yang melatar belakangi wanita dalam melakukan tindakan terorisme. Pertama, bahwa wanita setuju dan percaya dengan gagasan khilafah, dimana suatu sistem yang sesuai dengan syariat Islam dan sebagai jawaban atas berbagai kesenjangan sosial-ekonomi. Bergabungnya para wanita dalam kelompok teroris merupakan suatu bentuk kesadaran mereka akan isu-isu ketidakadilan, ketidaksetaraan dan kekecewaan atas kesenjangan ekonomi di Indonesia.
Dimana seorang wanita percaya bahwa semua kegelisahan yang mereka rasakan dan alami sebelumnya, dapat di selesaikan melalui jalan kekerasan yaitu dengan aksi terorisme. Kedua, karena masih adanya paham budaya patriarki yang mengakar dalam tradisi muslim konservatif yang senantiasa menempatkan wanita pada posisi kedua setelah laki-laki.
Begitulah keterlibatan wanita dalam suatu kelompok radikal, akan isu ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang senantiasa memposisikan mereka sebagai makhluk yang lemah dan rapuh. Bagaimana wanita dijadikan sebagai alat perbandingan untuk laki-laki atas keberanian mereka menjadi pelaku aktif dalam tindakan terorisme. Bagaimana wanita dikendalikan oleh paham-paham radikal. Sehingga, memunculkan cuitan dari para pelopor jihadis. Jika wanita dan anak-anak saja berani menjadi martir, maka laki-laki harus lebih berani dari pada wanita dan anak-anak mereka.