“Kita jangan mewarisi abunya Sumpah Pemuda, tapi kita harus mewarisi apinya Sumpah Pemuda.” (Bung Karno)
HAMPIR SATU ABAD lamanya, 28 Oktober 1928 di Batavia, para pemuda-pemuda Indonesia menggelar Kongres Pemuda II di Gedung Katholikee Jongelingen Bond yang mencikal-bakali Hari Sumpah Pemuda. Sedikit-banyak ada tiga pokok bahasan yang menjadi fokus pemuda pada saat kongres, yakni: melahirkan cita-cita perkumpulan pemuda-pemuda Indonesia, pembahasan mengenai tantangan eskalasi pergerakan pemuda Indonesia, serta penguatan kesadaran akan kebangsaan dan jiwa persatuan Indonesia.
Kongres Pemuda II merupakan kegiatan lanjutan dari Kongres Pemuda I yang diselenggarakan pada tahun 1926. Kongres Pemuda I melahirkan dua rumusan dasar-dasar pemikiran bersama, berkenaan dengan cita-cita Indonesia yang merdeka dan sebuah upaya besar penggalangan persatuan organisasi pemuda dalam satu wadah. Langkah ini terus dimasifkan oleh
para pemuda pada saatu itu sebagai bentuk kecintaan terhadap tanah air, sehingga memberikan stimulus positif terhadap langkah-langkah para pemuda berikutnya dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tahun 1959, tanggal 28 Oktober mulai diperingati sebagai suatu kesakralan baru. Melalui Keppres No. 316 tahun 1959, Pemerintah menetapkan Hari Sumpah Pemuda sebagai hari nasional dan bukan hari libur. Para pemuda sangat menanti dan mengkhidmati kesakralan ini
sebagai determinasi kecintaan mereka terhadap bangsa dan negara. Sumpah demi sumpah tidak sekadar dilafalkan secara lisan, melainkan betul-betul dapat diimplementasikan dalam hidup dan kehidupan.
Waktu membawa para pemuda bangsa ke arah yang tak menentu. Modernitas menuntut bangsa yang berbeda-beda ini untuk terus tumbuh dan berkembang, menciptakan wujud tampilan yang baru—baik luar maupun dalam—yang tanpa sadar mulai mengikis ruh-ruh keaslian bangsa itu sendiri. Terkikisnya ruh-ruh keaslian bangsa merupakan implikasi dari minimnya kesadaran menjaga, merawat, dan meneruskan cita-cita pemuda terdahulu.
Sangat jarang sekali kita jumpai kekhidmatan di antara para pemuda, sebab yang semula begitu sakral berubah menjadi sekadar momental-seremonial. Apakah sudah tidak betul-betul ada jiwa pemuda dalam diri pemuda? Apakah sudah tidak betul-betul ada kesadaran para pemuda
untuk menjaga dan merawat cita-cita bangsa? Atau karena memang sudah merasa merdeka sehingga hanya perlu mencari posisi yang aman saja? Mudah-mudah tidak. Sebagai mana Bung Karno pernah berkata, “Kita jangan mewarisi abunya Sumpah Pemuda, tapi kita harus mewarisi apinya Sumpah Pemuda.”
Lantas kemudian, “Perlukah pemuda disumpah kembali?”
(Adi Rahzalafna)